Ada beberapa pendekatan yang dilakukan
oleh para ulama dalam mendefinisikan bid’ah. Perbedaan cara pendekatan para
ulama disebabkan, apakah kata bid’ah selalu dikonotasikan dengan kesesatan,
atau tergantung dari tercakup dan tidaknya dalam ajaran Islam. Sebab menurut
bahasa, arti bid’ah adalah: sesuatu yang asing, tidak dikenal pada zaman
Rasulullah SAW. Pada intinya pengertian bid’ah yang sesat secara sederhana
adalah: segala bentuk perbuatan atau keyakinan yang bukan bagian dari ajaran
Islam, dikesankan seolah-olah bagian dari ajaran Islam, seperti membaca
ayat-ayat al-Qur’an atau shalawat disertai alat-alat musik yang diharamkan,
keyakinan kaum Mu’tazilah, Qodariyah, Syi’ah, termasuk pula paham-paham Liberal
yang marak akhir-akhir ini, dan lain-lain. Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdus Salam
menyatakan: “Apabila pengertian
bid’ah ditinjau dari segi bahasa, maka dapat terbagi menjadi lima hukum. A. Haram, seperti keyakinan kaum
Qodariyah, Mu’tazilah. B. Makruh, seperti membuat lukisan-lukisan dalam masjid.
C. Wajib, seperti belajar ilmu tata bahasa arab (nahwu). D. Sunnah, seperti
membangun pesantren, madrasah. E. Mubah, seperti jabat tangan setelah shalat. Walhasil,
kata Imam ‘Izzuddin. “Segala
sesuatu kegiatan keagamaan yang tidak ditemukan pada zaman Rasulullah SAW,
hukumnya tergantung dari tercakupnya pada salah satu kaidah hukum Islam,
haram, makruh, wajib, sunnah atau mubah”.
Kelompok
Wahabi dan yang semisal sering mengangkat Hadits berikut ini sebagai dasar atas
kekeliruan amalan Ahlussunnah wal jama’ah:
عن
عائشة رضي الله عنها قالت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من عمل عملا ليس عليه
أمرنا فهو رد. رواه
مسلم
“Dari ‘Aisyah RA, ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda: Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tiada perintah kami
atasnya, maka amal itu ditolak”
HR. Muslim.
Hadits
yang semisal ini sering dijadikan dalil untuk melarang semua bentuk perbuatan
yang tidak pernah dilaksanakan pada masa Nabi SAW. Padahal yang dimaksud
tidaklah seperti itu. Para ulama menyatakan, bahwa yang dilarang dalam Hadits
itu adalah membuat-buat hukum baru yang tidak pernah dijelaskan dalam al-Qur’an
ataupun Hadits, baik secara eksplisit (jelas) atau implisit (isyarat), kemudian
diyakini sebagai suatu bentuk ibadah murni kepada Allah SWT seolah-olah bagian
dari ajaran agama. Karena itu ulama membuat beberapa kriteria dalam persoalan
bid’ah ini.
Pertama,
jika perbuatan itu memiliki dasar yang kuat dalil-dalil syar’i, baik yang
parsial (juz’i) atau umum, maka bukan tergolong bid’ah. Bila tidak ada dalill
yang dapat dibuat sandaran, itulah bid’ah yang dilarang.
Kedua,
memperhatikan apa yang menjadi ajaran ulama salaf (ulama pada abad l, ll dan
lll H.), jika sudah diajarkan oleh mereka, atau memiliki landasan yang kuat
dari ajaran kaidah yang mereka buat, maka perbuatan itu bukan tergolong bid’ah.
Ketiga,
dengan jalan qiyas. Yakni mengukur perbuatan tersebut dengan beberapa amaliyah
yang telah ada hukumnya dari nash al-Qur’an dan Hadits. Apabila identik dengan
perbuatan haram, maka perbuatan baru itu tergolong bid’ah muharromah. Apabila
memiliki kemiripan dengan yang wajib, maka tergolong perbuatan baru yang wajib.
Dan begitu seterusnya.
Hadits
lain yang sering dijadikan dalil atas sesatnya semua perbuatan yang tidak
dikenal pada masa Rasulluah SAW adalah:
عن
عبد الله ابن مسعود, أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ألا وإياكم ومحدثات الأمور فإن
شر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة. رواه ابن ماجه
“Dari ‘Abdullah bin Mas’ud. Sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda: Ingatlah, berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal baru.
Karena perkara yang paling jelek adalah membuat hal baru . dan setiap perbuatan
yang baru itu adalah bid’ah. Dan semua bid’ah itu sesat.” HR. Ibnu Majah.
Dalam
Hadits ini Rasulullah SAW menggunakan kalimat kullu (semua), yang secara tekstual
seolah-olah diartikan semuanya atau seluruhnya. Sebenarnya kalimat kullu tidak selamanya
berarti keseluruhan atau semua, adakalanya berarti sebagian. Seperti dalam ayat
al-Qu’an:
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَآءِ كُلَّ شَيْئٍ حَيٍّ اَفَلَا يُؤْمِنُوْنَ
“Dan dari air kami
jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” QS. Al-Anbiya’:30.
Meskipun
ayat ini menggunakan kalimat kullu,
namun tidak berarti semua benda yang ada dunia ini diciptakan dari air.
Buktinya ayat al-Qur’an yang lain berikut ini:
وَخَلَقَ الْجَآنَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ
“Dan Allah SWT
menciptakan jin dari percikan api yang menyala”. QS. Ar-Rahman:15.
Maka
demikian pula dengan Hadits diatas. Walaupun menggunakan kalimat kullu, bukan berarti
seluruh yang tidak ada pada masa Nabi SAW dilarang dan sesat. Ini dibuktikan,
karena ternyata para sahabat juga melaksanakan perbuatan yang tidak ada pada
masa Rasulullah SAW masih hidup. Misalnya usaha menghimpun dan membukukan
al-Qur’an, mengumpulkan jama’ah tarawih menjadi satu didalam masjid, dan
lain-lain. Nah, kalau kalimat kullu
diatas diartikan keseluruhan, yang berarti semua hal-hal yang baru itu sesat
dan berdosa, berarti para sahabat telah melakukan kesesatan dan perbuatan dosa
secara kolektif (bersama). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka
adalah orang-orang pilihan yang tidak diragukan lagi keimanan dan ketaqwaannya.
Bahkan diantara mereka sudah dijamin sebagai penghuni surga. Maka, sungguh
tidak dapat diterima akal, kalau para sahabat Nabi SAW yang begitu agung tidak
mengetahuinya, apalagi tidak mengindahkan larangan Rasulullah SAW.