Sabtu, 16 Maret 2013

Bid'ah Menurut Aswaja


Ada beberapa pendekatan yang dilakukan oleh para ulama dalam mendefinisikan bid’ah. Perbedaan cara pendekatan para ulama disebabkan, apakah kata bid’ah selalu dikonotasikan dengan kesesatan, atau tergantung dari tercakup dan tidaknya dalam ajaran Islam. Sebab menurut bahasa, arti bid’ah adalah: sesuatu yang asing, tidak dikenal pada zaman Rasulullah SAW. Pada intinya pengertian bid’ah yang sesat secara sederhana adalah: segala bentuk perbuatan atau keyakinan yang bukan bagian dari ajaran Islam, dikesankan seolah-olah bagian dari ajaran Islam, seperti membaca ayat-ayat al-Qur’an atau shalawat disertai alat-alat musik yang diharamkan, keyakinan kaum Mu’tazilah, Qodariyah, Syi’ah, termasuk pula paham-paham Liberal yang marak akhir-akhir ini, dan lain-lain. Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdus Salam menyatakan: “Apabila pengertian bid’ah ditinjau dari segi bahasa, maka dapat terbagi menjadi lima hukum. A. Haram, seperti keyakinan kaum Qodariyah, Mu’tazilah. B. Makruh, seperti membuat lukisan-lukisan dalam masjid. C. Wajib, seperti belajar ilmu tata bahasa arab (nahwu). D. Sunnah, seperti membangun pesantren, madrasah. E. Mubah, seperti jabat tangan setelah shalat. Walhasil, kata Imam ‘Izzuddin. “Segala sesuatu kegiatan keagamaan yang tidak ditemukan pada zaman Rasulullah SAW, hukumnya tergantung dari tercakupnya pada salah satu  kaidah hukum Islam, haram, makruh, wajib, sunnah atau mubah”.
Kelompok Wahabi dan yang semisal sering mengangkat Hadits berikut ini sebagai dasar atas kekeliruan amalan Ahlussunnah wal jama’ah:

عن عائشة رضي الله عنها قالت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد. رواه مسلم
“Dari ‘Aisyah RA, ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak” HR. Muslim.
Hadits yang semisal ini sering dijadikan dalil untuk melarang semua bentuk perbuatan yang tidak pernah dilaksanakan pada masa Nabi SAW. Padahal yang dimaksud tidaklah seperti itu. Para ulama menyatakan, bahwa yang dilarang dalam Hadits itu adalah membuat-buat hukum baru yang tidak pernah dijelaskan dalam al-Qur’an ataupun Hadits, baik secara eksplisit (jelas) atau implisit (isyarat), kemudian diyakini sebagai suatu bentuk ibadah murni kepada Allah SWT seolah-olah bagian dari ajaran agama. Karena itu ulama membuat beberapa kriteria dalam persoalan bid’ah ini.
Pertama, jika perbuatan itu memiliki dasar yang kuat dalil-dalil syar’i, baik yang parsial (juz’i) atau umum, maka bukan tergolong bid’ah. Bila tidak ada dalill yang dapat dibuat sandaran, itulah bid’ah yang dilarang.
Kedua, memperhatikan apa yang menjadi ajaran ulama salaf (ulama pada abad l, ll dan lll H.), jika sudah diajarkan oleh mereka, atau memiliki landasan yang kuat dari ajaran kaidah yang mereka buat, maka perbuatan itu bukan tergolong bid’ah.
Ketiga, dengan jalan qiyas. Yakni mengukur perbuatan tersebut dengan beberapa amaliyah yang telah ada hukumnya dari nash al-Qur’an dan Hadits. Apabila identik dengan perbuatan haram, maka perbuatan baru itu tergolong bid’ah muharromah. Apabila memiliki kemiripan dengan yang wajib, maka tergolong perbuatan baru yang wajib. Dan begitu seterusnya.
Hadits lain yang sering dijadikan dalil atas sesatnya semua perbuatan yang tidak dikenal pada masa Rasulluah SAW adalah:

عن عبد الله ابن مسعود, أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ألا وإياكم ومحدثات الأمور فإن شر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة. رواه ابن ماجه

“Dari ‘Abdullah bin Mas’ud. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Ingatlah, berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal baru. Karena perkara yang paling jelek adalah membuat hal baru . dan setiap perbuatan yang baru itu adalah bid’ah. Dan semua bid’ah itu sesat.” HR. Ibnu Majah.
Dalam Hadits ini Rasulullah SAW menggunakan kalimat kullu (semua), yang secara tekstual seolah-olah diartikan semuanya atau seluruhnya. Sebenarnya kalimat kullu tidak selamanya berarti keseluruhan atau semua, adakalanya berarti sebagian. Seperti dalam ayat al-Qu’an:
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَآءِ كُلَّ شَيْئٍ حَيٍّ اَفَلَا يُؤْمِنُوْنَ

 “Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” QS. Al-Anbiya’:30.
Meskipun ayat ini menggunakan kalimat kullu, namun tidak berarti semua benda yang ada dunia ini diciptakan dari air. Buktinya ayat al-Qur’an yang lain berikut ini:
وَخَلَقَ الْجَآنَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ
 “Dan Allah SWT menciptakan jin dari percikan api yang menyala”. QS. Ar-Rahman:15.
Maka demikian pula dengan Hadits diatas. Walaupun menggunakan kalimat kullu, bukan berarti seluruh yang tidak ada pada masa Nabi SAW dilarang dan sesat. Ini dibuktikan, karena ternyata para sahabat juga melaksanakan perbuatan yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW masih hidup. Misalnya usaha menghimpun dan membukukan al-Qur’an, mengumpulkan jama’ah tarawih menjadi satu didalam masjid, dan lain-lain. Nah, kalau kalimat kullu diatas diartikan keseluruhan, yang berarti semua hal-hal yang baru itu sesat dan berdosa, berarti para sahabat telah melakukan kesesatan dan perbuatan dosa secara kolektif (bersama). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang pilihan yang tidak diragukan lagi keimanan dan ketaqwaannya. Bahkan diantara mereka sudah dijamin sebagai penghuni surga. Maka, sungguh tidak dapat diterima akal, kalau para sahabat Nabi SAW yang begitu agung tidak mengetahuinya, apalagi tidak mengindahkan larangan Rasulullah SAW.

Taqlid dan Empat Madzhab


Tidak alasan pada zaman sekarang untuk menolak taqlid kepada para imam madzhab empat, karena tidak dimungkinkannya setiap manusia mengambil hukum-hukum agama langsung dari sumbernya, yaitu al-Qur’an dan Hadits. Demikian ini disebabkan tidak dapat terpenuhinya segala persyaratan ijtihad, seperti menguasai ilmu al-Qur’an, Hadits, nahwu, lughot, tashrif dan perbedaan-perbedaan pendapat para ulama serta metode dalam mengambil hukum dari sumbernya (ushul fiqh).
Sebenarnya para imam mujtahid tidak hanya terbatas pada empat madzhab. Diluar madzhab empat juga banyak para imam yang telah mencapai tingkatan mujtahid, seperti Imam Sufyan Tsawri, Hasan al-Bashri, Ishaq bin Ruhawayh, Dawud ad-Dhohiri, dan lain-lain yang masih tergolong Ahlussunnah wal jama’aah, namun karena para pengikutnya tidak ada yang meneruskan dan mengembangkan pemikiran-pemikirannya, maka seiring dengan berlalunya waktu, satu persatu musnah ditelan zaman. Berbeda dengan pengikut empat madzhab ini yang selalu terus menyebarkan dan mengembangkan pemikiran-pemikiran imam pendiri madzhabnya, sehingga pendapat imam pendiri madzhab dapat terkodifikasi (terhimpun) dengan baik. Akhirnya, validitas (kebenaran sumber dan salurannya) dari pendapat tersebut tidak diragukan lagi, dan terhindar dari kemungkinan pemalsuan terhadap pendapat dan pemikiran imam pendiri madzhab. Disamping itu, madzhab empat ini telah teruji ke-shahihan-nya, sebab memiliki metode istinbath (penggalian hukum) yang jelas dan telah tersistematis (tersusun) dengan baik, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Para pengikut madzhab empat juga menulis beberapa kitab yang menguraikan dan menjabarkan pemikiran imam madzhab dengan sanad (mata-rantai) yang terus bersambung kepada pendiri madzhab.

Ruang Lingkup Aswaja

Karena secara substansi paham Aswaja adalah Islam itu sendiri, maka ruang lingkup Aswaja berarti ruang lingkup Islam itu sendiri, yakni aspek aqidah, fiqh, dan akhlaq. Seperti disebutkan oleh para ulama Aswaja, bahwa aspek yang paling krusial diantara tiga aspek diatas adalah aspek aqidah. Aspek ini krusial karena pada saat Mu’tazilah dijadikan paham keagamaan Islam resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah, terjadilah kasus mihnah yang cukup menimbulkan keresahan ummat Islam.

Ahlus Sunnah Wal Jamaah


Menurut Syekh Abu al-Fadl ibn Syekh ‘Abdus Syakur al-Senori dalam kitab karyanya “Al- Kawakib al-Lamma’ah fi Tahqiqi al-Musamma bi Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah” (kitab ini telah disahkan oleh Muktamar NU ke XXlll di Solo Jawa Tengah) menyebutkan definisi Ahlussunnah wal jama’ah